Derita dan Toleransi Konteks Indonesia

(Refleksi kritis atas artikel Prof. Emanuel Gerrit Singgih, Suffering as Ground for Religious Tolerance an Attempt to Broaden Panikkar’s Insight on Religious Pluralism)

 

Garis besar yang dikemukakan artikel adalah bagaimana agama-agama memahami penderitaan dan pengaruhnya terhadap toleransi beragama. Wacana agama-agama tidak sepi mengenai masalah penderitaan, bahkan tidak jarang ada pandangan-pandangan yang melihat agama sebagai jawaban terhadap penderitaan. Setiap agama yang ada di Indonesia mempunyai pandangannya masing-masing tentang penderitaan.

Ajaran Buddha menyatakan bahwa dunia ini penuh penderitaan (dukkha). Apa pun yang kita buat pasti akan berhadapan dengan penderitaan. Artinya penderitaan selalu ada dan justru karena itu, umat manusia sebaiknya memerhatikan kebijaksanaan Sang Buddha. Ajaran Hindu, penderitaan dapat ditemukan dalam  Kitab Veda. Penderitaan adalah konsekuensi dari kegiatan-kegiatan pribadi dewa-dewa di alam raya. Untuk itu dalam nyanyian Rig-Veda, orang mencoba untuk berdamai dengan diri mereka maupun dengan alam raya di sekitar. Ajaran Konghucu, penderitaan adalah sesuatu yang setimpal dengan tindakan. Kebaikan dan kejahatan tidak akan menimpa manusia secara keliru, tetapi Surga mengirimkan penderitaan dan kebahagiaan sesuai dengan tindakan mereka. Ajaran Kristiani, penderitaan dilihat dari dua sisi, yakni Perjanjian Lama memandang penderitaan sebagai hukuman atas dosa dan Perjanjian Baru menekankan penderitaan Yesus yang menyelamatkan manusia dari dosa dengan membawa cinta kasih. Ajaran Islam, penderitaan adalah bagian dari kehidupan. Allah adalah pengasih dan penyayang, maka penderitaan harus dipahami sebagai  hukuman terhadap dosa atau sebagai ujian.

Dengan demikian, penulis melihat bahwa tidak ada satu agama pun di Indonesia yang mencoba menyangkali kenyataan penderitaan manusia. Agama membantu menghadapi kenyataan yang pahit dan berat dari penderitaan. Agama menyediakan penghiburan dan harapan, bahkan janji, antisipasi atau visi mengenai masa depan yang membahagiakan.

 Selain itu, Raymundo Panikkar menjadi tokoh yang dipakai oleh Gerrit Singgih dalam melihat hubungan di antara agama dan toleransi dari sudut pandang filsafat agama. Dalam mengidentifikasi tentang agama, Panikkar menguraikan enam posisi: 1) Hanya satu agama saja yang benar; 2) Semua agama pada akhirnya benar; 3) Semua agama pada hakikatnya sama-sama salah; 4) Agama adalah masalah pribadi; 5) Agama adalah konstruksi sejarah; dan 6) Setiap agama memiliki ciri yang unik dan paham yang tidak bisa dipersamakan dengan yang lain oleh karena hakikat dari agama adalah jamak. Panikkar lebih memosisikan dirinya di bagian keenam dan melihat sifat kejamakan agama dengan cara yang sama seperti kalau kita melihat kejamakan bahasa dan kejamakan budaya.

Kejamakan bukanlah penghalang, melainkan kekayaan bersama dan mengundang kita untuk berkomparatif dengan agama lain. Hal ini bisa kita pelajari dari berbagai fenomena penderitaan yang telah dialami bangsa Indonesia. Fenomema ini memotretkan sikap solidaritas dan toleransi beragama, misalnya tsunami Aceh (orang Kristen memandang sebagai hukuman atas perbuatan agama Islam),  gempa bumi di pulau Nias (terjadi  sebulan sesudah tsunami Aceh dan dipandang sebagai kesalahan orang Kristen) dan lain sebagainya. Memang awalnya mereka saling men-judge bahwa itu adalah hukuman karena sikap agama yang tidak benar (radikalisme). Akan tetapi ketika semua agama mengalami hal yang sama, mereka mulai sadar dan bergerak menuju rekonsiliasi. Penderitaan-penderitaan yang ada membawa semua agama pada sikap toleransi; menghilangkan sikap radikalisme dan relativisme agama.

Penderitaan dapat menolong setiap orang menyadari kerapuhan Bersama. Tidak hanya itu, tetapi juga bahwa agama-agama apa pun memiliki kerapuhan dan keterbatasan. Hal ini dapat membuat semua agama bekerja sama sebagai relawan dalam penanganan bencana. Agama masih merupakan sesuatu yang amat penting, tetapi kata-kata sekarang digantikan oleh tindakan konkret menolong satu sama lain. Wacana ini perlu diaktualisasikan dalam pendemic Covid-19. Kita melihat semangat toleransi selama pandemic ini semakin meningkat. Isu-isu radikalisme berkurang. Tanggung jawab sosial dan solidaritas menjadi tuntutan bersama setiap agama dalam menghadapi penderitaan Covid-19. Indonesia telah bermain di dalamnya, meski masih ada keegoisan dari kelompok tertentu.

 

 


 

Komentar

  1. Balasan
    1. Mks bnyak mba.... Semoga tulisan sederhana ini bermanfaat bagi pembaca. Berkah Dalem

      Hapus
  2. Mksh tulisannya...smg bermanfaat bg kami...dan bisa meningkatkan toleransi antar agama di Indonesia

    BalasHapus
  3. Mks bnyak atas respon baiknya ats tulisan ini... Semoga semangat toleransi semakin baik di tengah pandemi virus corona yg sedang kita hadapi... Tuhan memberkati

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Keselamatan dalam Pandangan Agustinus dan Anselmus

Toleransi Beragama di Era Revolusi Industri 4.0