Toleransi Beragama di Era Revolusi Industri 4.0
Sumber Gambar: muslimahnews.com
Realitas
dunia semakin serba-serbi tanpa batas apapun. Kehidupan sosial yang dulunya
sangat dibatasi oleh ruang fisik, kini bisa saja dengan mudah diukur dan ditentukan
oleh angka-angka secara virtual tanpa menghadirkan eksistensi fisik.
Perkembangan dunia digital tanpa sadar telah merubah perilaku sosial, ekonomi,
politik bahkan agama. Banyak hal yang memudahkan akibat kemajuan ini,
tetapi secara tidak langsung, peran-peran signifikan manusia secara nyata
pelan-pelan bergeser hanya sekedar menjadi aktor-aktor virtual dalam
dunia digital. Eksistensi setiap pribadi saat ini bahkan sangat ditentukan oleh
setiap akun yang dimilikinya dalam dunia maya. Revolusi industri 4.0 telah
membuka jalan kemudahan untuk akses beragam informasi dalam banyak hal sehingga
batasan-batasan fisik, baik jarak, waktu atau tempat bukan lagi menjadi alasan
keterbatasan manusia.
Revolusi
Industri 4.0 adalah pengembangan dan penerapan sistem cerdas tekno-manusia yang
mampu meningkatkan efisiensi dan produktivitas sistem produksi serta mendukung
peningkatan umum dalam kualitas hidup individu dan masyarakat. Hal ini ditandai
oleh pesatnya perkembangan dunia digital, di satu sisi mempermudah akses publik
dalam memperoleh informasi apapun, meskipun disisi lain kemudahan teknologi tak
jarang dipergunakan sebagai ceruk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu
untuk menanamkan informasi kejahatan, kebencian atau kesesatan yang dinilai
dapat membuat gaduh publik, tidak hanya dalam dunia maya tetapi juga ekses
kelanjutannya terhadap dunia nyata.
Revolusi
Industri 4.0 pada dasarnya setara dengan evolusi Internet of Things (IoT). Ini didefinisikan sebagai infrastruktur
global untuk masyarakat informasi, memungkinkan layanan lanjutan dengan
menghubungkan hal-hal (fisik dan virtual) berdasarkan pada teknologi informasi
dan komunikasi yang ada dan berkembang. Padahal informasi-informasi tertentu
yang tersebar secara cepat dalam ranah medsos masih perlu diuji tingkat
kebenaran dan validitasnya, oleh karena itu tetap dibutuhkan “kecerdasan
faktual” yang bisa menjadi filter yang berasal dari diri manusia itu
sendiri. Keberadaan medsos sebagai jaringan informasi terbesar dan tercepat
aksesnya justru tak jarang pada akhirnya menimbulkan ketegangan dan konflik
dalam masyarakat.
Jika
dahulu konflik sosial karena terjadi “gesekan” secara fisik antarindividu atau
kelompok dalam sebuah realitas masyarakat, maka saat ini gesekan dan konflik
bisa saja timbul berawal dari penyebaran informasi viral di medsos
dan meluas menjadi konflik sosial secara fisik dalam masyarakat. Hal ini tentu
saja telah merubah pergeseran realitas sosial yang ada saat ini bahwa tidak
selamanya ketegangan dan konflik dimulai dari gesekan secara fisik, tetapi bisa
dipicu oleh informasi-informasi yang tersebar secara daring dan
diakses secara viral oleh publik. Umumnya, informasi-informasi yang
mudah membuat ketegangan dan bahkan konflik adalah informasi-informasi yang
memiliki nuansa Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA).
Revolusi
digital menciptakan pendekatan baru radikal yang merevolusi cara individu dan
lembaga terlibat dan berkolaborasi. Memang, membangun rasa saling menghargai
atau toleransi terhadap setiap perbedaan yang terjadi dalam suatu komunitas
sosial saat ini jauh lebih sulit dibanding sebelum maraknya penggunaan
teknologi digital. Ketegangan atau konflik sosial yang terjadi sebelum era
digital, cenderung lebih mudah diatasi karena keterbatasan penyebaran
informasi. Namun di era digitalisasi seperti saat ini, sentimen keagamaan
secara pribadi dalam bentuk virtual, misalnya
bisa saja memicu konflik sosial yang justru bisa lebih luas dan terjadi dalam
dunia nyata.
Realitas
sosial kita saat ini memang terkesan rumit: disatu sisi membutuhkan revolusi
4.0 sebagai model kemudahan interaktif secara sosial yang mudah dan
menguntungkan namun disisi lain justru muncul persoalan-persoalan baru yang
timbul dan mengganggu stabilitas tatanan sosial yang sudah ada. Oleh karena
itu, perlu adanya kedewasaan masyarakat yang ditopang dengan seperangkat
regulasi dari pemerintah yang mengatur, membatasi dan mengarahkan teknologi
agar lebih memiliki nilai tepat guna dan bermanfaat untuk publik.
Hal ini perlu dibangun dalam setiap setiap
orang agar tidak sampai pada ajaran yang salah; yang disebabkan oleh
informasi atau pengetahuan yang tidak valid dari media digital. Informasi yang
benar, pasti dan jelas menjadi salah satu kekuatan yang mengantarkan orang pada
sebuah pilihan apa yang hendak ia lakukan. Jika informasinya salah atau berbau
hoax akan membahayakan relasi dalam kehidupan bersama. Kelompok tertentu akan
menjadi fanatik dan radikal, sehingga tidak jarang terjadi kekerasan, terorisme
dan lain sebagainya.
Membangun
toleransi di era digital sebenarnya tidak hanya terbatas pada toleransi agama
atau antar umat beragama, tetapi lebih luas
terhadap bagaimana membina kedewasaan masyarakat dalam mencerna beragam
informasi yang diperoleh sehingga siap menerima perbedaan pendapat dalam hal
apapun. Keberadaan agama justru seharusnya dapat menjadi pengikat yang paling
kuat terhadap solidaritas sosial karena adanya hoax atau informasi yang tidak
valid yang terbentuk diantara para pemeluknya, terlebih di era digital 4.0
seperti sekarang ini.
Toleransi
beragama hendaknya dibangun berdasarkan
pengetahuan akan teknologi dan informasi yang
memadai bukan karena ikut-ikutan (asal mau ramai) tanpa melihat makna
atau arti dari apa yang didapat tersebut. Perbedaan dalam hal apapun adalah
sebuah anugerah Tuhan yang diberikan kepada umat manusia. Jika setiap individu
dalam realitas sosial dapat menjunjung tinggi setiap perbedaan yang ada, maka
toleransi akan lebih mudah dibangun dari sini tanpa tergantung perubahan zaman.
Iya frater..harus hidup bersama dg iman agama lain..demi kerukunan bersama maka toleransi di junjung
BalasHapus