Dialog dan Ego Agama Ala Dalai Lama

 

Sumber Gambar: dw.com


Dalam bukunya Beyond Religion-Etic For The whole World, Dalai Lama beranggapan bahwa etika tentu tidak dapat dipisahkan dengan agama-agaman dan keyakinan. Baginya di dalam agama terkandung spiritualitas yang menggerakan manusia untuk bertindak secara baik. Spritualitas tersebut memiliki dua dimensi,[1] yakni pertama, kesejahteraan spiritual dasar. Yang dimaksud dengan kesejahteraan spiritual dasar adalah mental batin dan kekuatan dan keseimbangan emosional yang datang dari kodrat manusia. Spiritual dasar ini, yakni adanya kecenderungan dalam diri manusia yang dilandaskan pada cinta, kebaikan, dan kasih sayang. Kedua, adalah apa yang mungkin dianggap spiritualitas berbasis agama, yang diperoleh dari didikan kita dan budaya m,  serta terkait dengan kepercayaan dan praktik tertentu. 

Berhadapan dengan multi-religions, Dalai Lama percaya bahwa semua agama dan keyakinan memiliki nilai-nilai moral dan ajaran yang merujuk pada suatu kebaikan entah itu teistik maupun non-teistik. Hal inilah yang menjadikan agama itu sendiri menjadi jantung peradaban manusia, sebagaimana yang ditegaskan oleh Dalai Lama.[2] Semua nilai yang terkandung dalam masing-masing kepercayaan pada akhirnya mampu memberikan pencerahan mengenai kebenaran dan kebijaksanaan bagi agama dan keyakinan lain entah itu teistik mapun non-teistik. Hal ini sebagai mana terungkap dalam kalimatnya yang sangat fenomenal, yakni “one religion for each person, many religions for humanity”

Namun semua kenyataan ini hanya mampu tercapai bila setiap orang menghidupi nilai-nilai dasar dari setiap keyakinannya.[3] Segala nilai dasar dan ajaran moral dalam setiap agama dan keyakinan tidak menjadi begitu relevan jika semuanya berhenti pada penghayatan semata, menjadi nilai yang terkandung dalam setiap refleksinya. Semuanya ini akan menjadi relevan jika mampu dinyatakan dalam segala realitas yang ada saat ini.

Lebih jauh Dalai Lama juga mengajak setiap agama dan kepercayaan untuk tidak tenggelam dalam kecenderungan-kecenderungan untuk memaksakan sesama dari agama dan keyakinan lain untuk mengikuti setiap filosofi atau kepercayaan dalam agamanya. Jika hal ini terjadi maka solidaritas yang memperkaya sejatinya hanya hidup dalam dunia mimpi, sebatas imajinasi. Solidaritas akan selalu berbenturan dengan pribadi-pribadi yang eksklusif yang justru menciptakan pertentangan dan pergolakan. Berkenaan dengan hal ini, Dalai Lama mengajak semua agama dan keyakinan untuk senantiasa bekerja sama dan bersatu dalam misi universal, namun tetap setia dan teguh pada ajaran kepercayaanya masing-masing.[4]

Hal lain yang ditekankan oleh Dalai Lama adalah dialog yang berkaitan erat dengan ego dari setiap pemeluk yang mana selalu mengagungkan dan mempertahankan ajaran-ajaran atau paham teologis dari agama mereka sebagai yang paling benar (the truth claim). Baginya, kecenderungan demikian merupakan salah satu akar permasalahan dalam ketidakharonisan agama. Sikap yang demikian tidak baik dalam dinamika dialog karena tidak adanya kata sepakat dan semangat untuk bekerja sama. Kenyataan yang akan tercipta adalah perdebatan yang barangkali berkepanjangan. 

Bertolak dari sikap yang demikian, Dalai lama memberikan semacam suatu ajakan untuk menanggalkan kecenderungan ini. Hal yang terpenting baginya adalah mengejahwantakan semuanya itu dalam tindakan yang efektif demi tercapainya suatu situasi kehidupan yang harmoni.[5]

 



[1] Dalai Lama, Beyond Religion-Etic For The whole World, (Boston: Houghton Mifflin Harcourt, 2011), 20.

[2] Dalai Lama, Beyond Religion-Etic For The whole World, 18.

[3] R. S. Kazemi, Common Ground: Between Islam and Buddhism, (Louisville: Fons Vitae, 2010), 27.

[4] R. S. Kazemi, Common Ground: Between Islam and Buddhism, 28.

[5]Dalai Lama, Study Guide For Ethic For The New Millennium, diakses dari http://sourceoflightmonastery.tripod.com/webonmediacontents/1460569  pada 29 Januari 2020.

Komentar

  1. Dialog tanpa keterbukaan untuk memahami sudut pandang 'dia' di sebelah, secara definitif menyangkal hakikat dari dialog itu sendiri. Itu justru bukan berdialog tapi bermonolog di sebelah orang lain...

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Keselamatan dalam Pandangan Agustinus dan Anselmus

Derita dan Toleransi Konteks Indonesia

Toleransi Beragama di Era Revolusi Industri 4.0