Membaca Buku, Menambah Ilmu: "Betulkah?"
Tugas
utama pelajar adalah belajar (membaca). Ironinya, konsep ini telah dipudarkan
oleh perkembangan zaman. Membaca buku menjadi sebuah pemandangan yang langka
dan mulai menghilang dari budaya
masyarakat. Orang lebih nyaman dan senang mengetik kata kunci di mesin pencari Geogle. Inilah tantangan besar untuk
generasi zaman sekarang.
Hasil
survei yang dilakukan oleh Most Littered
Nation In the World tahun 2016, minat membaca masyarakat Indonesia berada
pada peringkat ke 60 dari 61 Negara. Duta Baca Perpustakaan Nasional Republik
Indonesia, Najwa Shihab, saat menggelar kegiatan Temu Literasi di Kupang, NTT,
mengatakan bahwa minat membaca masyarakat Indonesia sangat rendah jika
dibandingkan dengan negara-negara lain. “Kalau dilihat angka-angka dan
data-data, sering kali terjadi, bahwa kemampuan membaca anak-anak Indonesia,
bahkan dibandingkan dengan negara lain seperti ASEAN pun masih sangat jauh,”
ujar Najwa (Antaranews, Jumat 11/8/2017).
Tahun 2011, United Nations Educational,
Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) melansir hasil surveinya
yang menunjukkan indeks tingkat membaca masyarakat Indonesia hanya 0,001
persen, atau hanya ada satu orang dari 1000 penduduk yang mau membaca buku
secara serius. Berarti minat baca masyarakat Indonesia masih rendah dan jauh
dari standar UNESCO. Sementara laporan Human Development Report 2008/2009
menunjukkan minat baca masyarakat Indonesia berada di peringkat 96 dari negara
seluruh dunia, sejajar ngan Bahrain, Malta dan Suriname. Untuk kawasan Asia
Tenggara posisi Indonesia juga berada di urutan bawah, hanya lebih baik dari
Kamboja dan Laos.
Di era teknologi digital yang berkembang pesat saat
ini, menggiring generasi muda untuk berliterasi secara ideal bukanlah
perkerjaan yang mudah. Betapa tidak, budaya hunting, posting,
chating, gaming, dan sebagainya dianggap lebih penting dan lebih populer
dari pada budaya membaca. Oleh karena itu, budaya membaca di tengah masyarakat harus terus digalakan
bersama. Kita harus dan perlu
menanamkan budaya ini dalam diri setiap pribadi sejak dini.
Spiritualitas membaca buku belum mengakar kuat
dalam dunia pendidikan. Kita lebih sering menonton atau mendengar dibandingkan
membaca apalagi menulis. Peserta didik belum tertanam kecintaan membaca. Bahkan
tak sedikit dari para guru yang juga sama keadaannya. Perpustakaan sekolah yang
tak terawat dapat menjadi “saksi bisu” buruknya pendidikan.
Membaca buku sangat berperan penting dalam
kehidupan generasi muda di zaman yang penuh serba-serbi pengetahuan dan persaingan ini. Sejarah pendidikan membuktikan kurangnya minat
baca. Kita perlu dilatih dan dibiasakan untuk membaca. Karena dengan membaca
kita akan mendapatkan banyak pengalaman hidup, pengetahuan umum dan informasi
tertentu yang berguna bagi kehidupan, bisa mengikuti perkembangan teknologi dan
ilmu pengetahuan terbaru di dunia, memperluas cara pandang dan pola pikir,
mampu meningkatkan taraf hidup untuk keluarga, masyarakat, nusa dan bangsa
serta meningkatkan potensi setiap pribadi dan meningkatkan desistensi.
Good morning kaka.Terima kasih kaka untuk tulisannya yang sangat menginspirasi kami tertuma kaum muda untuk tetap menjadikan buku sebagai sumber utama untuk mendapatkan pengetahuan dan informasi. Semoga tulisan ini tetap membangun dan merangsang minat baca kaum muda. Terima kasih dan salam sehat๐๐
BalasHapusmks banyak buat tanggapannya...Salam literasi
HapusTulisan ini merupakan bentuk keresahan akan fenomena kurangnya minat baca masyarakat. Di satu sisi perkembangan teknologi membuat kita cepat mengakses informasi. Namun, di sisi yang lain itu membuat tidak adanya pemahaman yang terbangun dari sekian banyak informasi yang diterima. Untuk mengatasi hal ini; seseorang perlu memiliki kemampuan membaca yang baik. Dengan demikian informasi yang diterima tidak hanya menjadi suatu informasi saja melainkan menjadi suatu pengetahuan yang baru bagi pribadi. Sebab membaca adalah salah satu proses internalisasi pengetahuan.
BalasHapusmks banyak buat tanggapannya...Taggapan ini memperkaya dan menyempurnakan tulisan sederhana saya. Salam literasi
HapusMenanggapi pernyataan di awal paragraf, orang di luar gedung sekolah mungkin berpikir bahwa kebebasan melakukan sesuatu di luar gedung sekolah lebih dari sekadar membaca buku. Kita mungkin selalu melihat ketidakmampuan orang membaca karena kemauan pribadi. Orang melihat bahwa kegiatan membaca buku sebagai sesuatu yang membosankan. Jika pada akhirnya mengalami kebuntuan dimana tidak ada orang yang berminat pada buku, mungkin ada jalur lain untuk menerjemahkan isi buku di atas meja. Ini sulit tapi menantang.
BalasHapusKita biasa menyerukan kegiatan membaca buku dalam konteks pelajar dan mahasiswa. Bagaimana dengan saudara kita yang tidak bisa masuk pintu sekolah dan kampus? Program perpustakaan berjalan di masyarakat bisa menjadi ladang ilmu bagi mereka.
mks banyak buat tanggapannya...Taggapan ini memperkaya dan menyempurnakan tulisan sederhana saya. Salam literasi
HapusBenar juga bhwa minat baca semakin langka.apalgi buku2 yg membuat jenuh,tebal.hehehe
BalasHapusTrima kasih untuk tulisannini yg memberi motifasi dalm meningkatkan gemar membaca,dan semoga setelah ini,banyak anak2 muda bahkan orang tua pun kembali menekuni gemar membaca.
mks banyak buat tanggapannya...Taggapan ini memperkaya dan menyempurnakan tulisan sederhana saya. Salam literasi
HapusTerimakasih tulisan ini sangat mengispirasi saya,untuk terus membaca, menjadikan buku sebagai teman dan perpustakaan sebagai tempat rekreasi anak asrama๐
BalasHapusmks banyak buat tanggapannya...Salam literasi
HapusPernahkah bertanya mengapa minat baca semakin rendah? Menurut saya, jika berkenaan dengan proses pembelajaran, permasalahannya terletak pada keinginan belajar yang juga rendah. Pada jaman disrupsi ini, cara belajar klasik dengan membaca buku bisa jadi tidak lebih menarik jika dibandingkan cara belajar lain. Misalnya: melalui kanal Youtube, podcast Spotify dan berbagai media digital lainnya. Maka, yang perlu dibangun pertama adalah gairah belajar. Dengan begitu seorang akan kreatif dan berdaya-tahan dalam mencari cara untuk mendapatkan pengetahuan yang dikehendakinya. Entah itu dengan buku, Youtube atau bahkan bertanya dengan orang yang lebih berpengalaman.
BalasHapusOh ya, bagaimana dengan pengkinian data tentang minat baca? Masihkah data tahun 2011 relevan digunakan di jaman dimana mendengarkan podcast Deddy Corbuzier memberitahu banyak cepat daripada menghabiskan 1 jam membaca buku? Bisa jadi dari sekian bab, hanya satu paragraph yang kita butuhkan untuk mengisi kebutuhan pengetahuan kita. Kecuali kita membaca buku cerita ya. Membaca memang perlu, tapi saya sepakat bahwa yang juga perlu adalah cara membaca yang benar. Skill yang hanya bisa dilatih dengan latihan membaca.
mks banyak buat tanggapannya...Taggapan ini memperkaya dan menyempurnakan tulisan sederhana saya. Salam literasi
HapusBagaimana peran kita sendiri untuk memasyarakatkan budaya membaca bagi masyarakat sekitar? Ayo kita lakukan bersama.
BalasHapusmks banyak buat tanggapannya...Taggapan ini memperkaya dan menyempurnakan tulisan sederhana saya. Salam literasi dan laksanakan
HapusDengan membaca, maka aku ada. Wujud eksistensi pribadi yang peduli akan kemampuan membaca buku fisik secara konvensional. Membaca buku merupakan warisan peradaban manusia, pewarisan ilmu pengetahuan, dan pengabadian ide.
BalasHapusmks kk....komentar ini mau menegaskan eksistensi kita dan betapa pentingnya membaca
HapusBagus bro
BalasHapussama2 brooo
HapusMari membaca tamba pengetahuan,,,
BalasHapusSalam literasi kak...
Terimaksih tulisan sangat bagus,,
Sudah menginspirasi ,memotivasi saya untuk tetap membaca.๐๐ฝ
Memang benar membaca buku dapat menambah wawasan kita tentang berbagai hal. Akan tetapi ada beberapa hal yg kadang tidak kita temukan dalam buku. Dengan adanya era teknologi digital ini memudahkan dalam mencari info. Memang akan menjadikan kita semakin kurang minat membaca, akan tetapi teknologi digital sangat membantu kita terutama dalam masa pandemi covid 19
BalasHapusMantap e K2 Yono..
BalasHapusSaya lihat masyarakat negara kita punya minat baca yang tinggi, tapi baca chatt dan story orang��.
Rupanya pesona buku kalah dari pesona gadget dengan daya gelombang hipnoelektromagnetiknya yang membuat candu melebihi narkoba. Meskipun di dalam gadget juga tersedia berbagai bentuk literasi, tapi tetap saja aplikasi lain lebih memikat mata dan rasa.
Platon bilang KEINDAHAN ditulis dengan huruf besar, sedangkan kebenaran ditulis dengan huruf kecil. Mungkin literasi perlu keindahan yang lebih supaya mampu memikat.....
Salam dari tanah transmigrasi Palu Rejo_Borneo☺️
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus