Ajaran Trinitas Menurut Athanasius
Athanasius lahir di Aleksandria sekitar
tahun 295 dan meninggal pada tahun 373. Ia mendapat pendidikan klasik dan
teologis ditempat kelahirannya. Ia ditahbiskan menjadi diakon pada tahun 319
dan tidak lama kemudian ia menjadi sekretaris uskup di Aleksandria yang bernama
Aleksander. Tugas terbesarnya sebagai sekretaris, ia harus
menemani uskup dalam mengikuti Konsili Nikea di mana ada diskusi dan
pertentangan beberapa ajaran teologi dengan kaum Arian.
Santo Athanasius menjadi pembela dalam
ajaran Gereja Katolik tentang Trinitas dan misteri Penjelmaan Sabda menjadi
Manusia. Ia juga dikenal sebagai ‘Bapak Ortodoksi’ karena perjuangannya yang
besar dalam menentang ajaran-ajaran sesat yang berkembang pada masa
itu. Menanggapi ajaran sesat Arianisme, Athanasius bersama uskupnya pergi
menghadiri Konsili Nikea, yang diprakarsai oleh kaisar Konstantianus.
Dalam konsili itu, Athanasius terlibat
aktif dalam diskusi-diskusi mengenai Ke-Allah-an Yesus Kristus, Pribadi kedua
dalam Tritunggal Maha Kudus. Setelah konsili itu, peranan Athanasius semakin penting, terutama setelah meninggalnya uskup Aleksandria dan ia dipilih
menjadi uskup Aleksandria. Kemudian, ia diangkat menjadi seorang uskup untuk
wilayah Ethiopia dan ia melayani keuskupannya selama 45 tahun.
Santo Athanasius mendasarkan ajarannya
mengenai Trinitas dalam tiga hal, yakni: pertama, konsep “homo-ousios”
dari bahasa Yunani yang berarti Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus memiliki esensi
ilahi yang sama. Ia mau menunjukkan bahwa keilahian Sang Putra dan identik
dengan keilahian Bapa atau kepenuhan Bapa merupakan “mengadanya” Sang Putra.
Tekanan pada kesatuan Allah itu tidak berarti bahwa Athanasius menghilangkan
gagasan Bapa dan Putra. Ia menulis “Mereka itu dua karena Sang Bapa
itu Bapa dan bukan juga Putra dan Sang Putra itu Putra dan bukan juga Bapa.
Tetapi kodrat itu hanya satu.”
Pada prinsipnya ajaran Athanasius ini
bertujuan untuk menyatukan pandangan Gereja tentang Trinitas yang pada waktu
itu bertentangan dengan ajaran Arius. Ajaran dari Arius pada prinsipnya
mempersoalkan keilahian Yesus dengan relasi-Nya dengan Allah. Bagi Arius, hanya
ada satu Allah saja. Jadi hanya Allah saja yang tidak dilahirkan, kekal, tanpa
permulaan, dan Dialah Allah yang sejati.
Kedua, Athanasius juga
membicarakan ajarannya tentang Trinitas dalam kaitan dan relevansinya dengan
soteriologi. Hal ini juga menentang ajaran Arius yang mengatakan bahwa Sang
Logos sebagai makhluk ciptaan dan bukan sebagai Allah sendiri. Arius
menempatkan kedudukan Sang Putra jauh di bawah Bapa. Pada pokonya Athanasius
menganut Kristogi Firman-daging, tetapi berlawanan dengan pandangan Arius. Ia
tak pernah menyangkal ada jiwa insani pada diri Logos, namun yang menjadi
perhatiannya tidak terletak pada keutuhan manuisiawi Yesus melainkan Ketuhanan Yesus. Ia menekankan bahwa Sang Putra sehakikat dengan Bapa. Jadi, dapat
disimpulkan bahwa Athanasius menekankan sosok Yesus pertama-tama dan terutama
sabagai Allah, bukan manusia. Jika Sang Logos hanya merupakan manifestasi suatu
makhluk ciptaan yang kodratnya setengah ilahi, maka tiada penebusan yang
sungguh-sungguh melalui Kristus semacam itu. Athanasius mengatakan bahwa
“Kitalah menjadi sebabnya Ia menjelma menjadi manusia dan untuk keselamatan
kitalah Ia dilahirkan dan dinyatakan dalam tubuh insani karena kasih-Nya yang
besar.”
Ketiga, Athanasius juga
berbicara tentang Roh Kudus sebagai pribadi ketiga dalam Allah Tritunggal
sehingga teologi trinitarisnya memang lengkap. Dalam credo Nikea hanya sedikit
sekali dikatakan tentang Roh Kudus. Menyatakan secara tegas iman kepercayaan
kepada-Nya sudah dianggap cukup oleh para bapa konsili. Hal ini dipengaruhi
oleh ajaran Arian, yakni “tiada kesamaan sedikit pun antara Roh Kudus dengan
Bapa, sedangkan kesamaan Roh dengan Sang Putra terbatas pada sama-sama
berstatus ciptaan.” Akan tetapi, pada waktu yang sama ada kelompok khusus yang
menolak Ketuhanan Roh Kudus. Mereka adalah para pneumatokhoi. Dengan demikian,
Athanasius tidak hanya bertentangan dengan Arian dalam ajarannya tentang Roh
Kudus, tetapi juga berlawanan dengan kaum ini.
Athanasius mengajarkan bahwa Roh Kudus
bukan ciptaan, melainkan sehakikat dengan Allah. Melalui Roh, kita mengambil
bagian dalam Allah, khususnya hubungan Roh dengan Putra yang disoroti
Athanasius. Roh itu Roh Putra, diutus oleh Putra. Segala sesuatu yang dimiliki
oleh Roh, dimiliki juga oleh Putra (lih. Yoh 16:13-14). Dengan demikian,
Athansius mengembangkan teologi trinitaris yang paling lengkap, dibandingkan
dengan para pendahulunya.
Komentar
Posting Komentar