Gelar-Gelar Yesus sebagai Anak Allah

 

Sumber Gambar: sketsindonews.com


Topik mengenai Anak Allah dapat kita temukan dalam dunia Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Namun keduanya memberikan gambaran yang berbeda tentang itu. Dalam Perjanjian Lama, sebutan Anak Allah digunakan untuk malaikat (Kej 6:6), bangsa Israel (Kel 4:22-23) dan raja (2 Sam 7:14). Sedangkan dalam PB sebutan Anak Allah untuk menjelaskan mengenai pribadi Yesus. Ia disebut sebagai Putra Allah. Gelar Anak Allah atau Putra Allah itu muncul kurang lebih 124 kali dalam Kitab Suci Perjanjian Baru. Sejak awal hidup-Nya, Yesus sendiri menyadari hubungan-Nya yang khas dengan Allah sebagai Bapa dan Ia sebagai Anak. 

Ada beberapa peristiwa yang mengafirmasi bahwa Yesus adalah Anak Allah, antara lain: pembaptisan (Mrk 1:11, Mat 3:17, Luk 3:22), peristiwa transfigurasi (Mat 17:5), peristiwa di taman Getzemani dan peristiwa salib, Yesus menyebut Allah sebagai “Abba” (Mat 26:63.64, Luk 23:46). Selain peristiwa itu, Yesus sendiri juga mempunyai relasi personal dengan Bapa (Mrk 14:36, bdk. Rm 8:15, Gal 4:6, Mrk 1:11), Yesus mempunyai ketaatan yang total pada Bapa (Mat 26:39), dan Yesus sebagai anak tunggal Allah (Yoh 1:14, 3:16.18, Rm 8:32). Kita bisa melihat Hubungan Yesus yang sangat dekat dengan Bapa bahkan Yesus dan Bapa adalah satu (Yoh 10:30), Yesus menjalankan kehendak Bapa (Yoh 5:19, 12:50) dengan ketaatan total (Yoh 4:34, 5:30). Bertolak dari peristiwa historis di atas kita dapat mendeskripsikan tentang diri Yesus sebagai anak Allah dalam beberapa poin berikut:

Pertama, Anak Allah sebagai figur yang setia[1] (Mat 26:39). Kita bisa melihat hal ini dalam seluruh hidup dan karya Yesus Kristus yang setia pada kehendak Allah. Totalitas yang dihadirkan Kristus menggambarkan diri-Nya dengan Bapa tidak ada keterpisahan tetapi ada dalam satu relasi kekal. Matius yang dengan gaya bahasanya yang agak keras menyatakan relasi ketaatan Yesus dengan Bapa seperti relasi seorang anak kecil dengan bapa. Penginjil Markus juga menghadirkan Yesus sebagai orang yang menyempurnakan dan memenuhi kehendak Bapa-Nya. Ini jelas dalam kutipan rumus pemenuhan, dan dalam seluruh pengajaran tentang kebenaran. Baptisan Anak untuk menggenapi semua kebenaran, ujian bagi Anak yang mengetahui firman Allah, tunduk kepada Bapa di Getsemani dan kepatuhan Anak yang dicemooh di atas salib. Dengan melakukan hal itu Dia adalah murid sejati. Siklus pra-baptisan Matius menyaksikan tidak hanya legitimasi Juruselamat sebagai Anak Daud (Mat 1: 18-25; 2: 6; 2:23), tetapi juga legitimasi oleh Kyrios sebagai Putranya (Mat 1:22-23; 2:15).[2]

Kedua, Anak Allah menyatakan relasi eksklusif dengan Bapa[3] (Yoh 10:30, 38). Dalam teks Yohanes kita dapat menemukan adanya penjelasan Yesus mengenai Bapa. Dia memberikan perbedaan kedudukan antara kita dengan diri-Nya sebagai Anak Allah dengan menyatakan bahwa Bapa-Ku dan bapamu. Yesus tidak pernah menyebut bapa adalah Bapa kita. Ini sebenanya mau menegaskan relasi intim dan personal-Nya dengan Bapa. Ontologi Yesus sebagai Anak Allah dapat dilihat dalam realitas ini, meski Ia tidak menyatakan langsung mengenai diri-Nya  sebagai Anak Allah.

Ketiga, Anak Allah sebagai Putra yang maha tinggi (raja).[4]  Dia adalah Anak Allah sebagaimana Tuhan memberikan pemerintahannya sebagai raja kepada-Nya (seperti halnya raja Israel disebut "anak Allah") dan dia menengahi keputraan ilahi.[5] Ia adalah Anak Allah karena sebagai "Anak Manusia" ia adalah wakil dari umat Allah yang sejati, anak-anak Allah, sama seperti raja Daud disebut anak Allah karena dia adalah wakil Israel, anak-anak Allah. Yesus, Anak Allah, telah menjadikan kita umat Bapa-Nya, sehingga ia juga menjadi Bapa kita. Yesus tahu dirinya adalah Anak Allah.

Keempat, Yesus sebagai Manusia Ilahi. Selama abad ke-20, Reitzenstein meletakkan dasar korelasi Yesus dan Hellenistik sebagai “manusia ilahi”. Ia berpendapat bahwa konsep umum tentang manusia ilahi sudah ada sejak masa Helenistik. Mereka yang termasuk dalam kategori theios aner adalah orang yang memiliki  sifat yang lebih tinggi, kesucian pribadi, memiliki pengetahuan khusus (seseorang pemikir, filsuf), kemampuan untuk meramalkan masa depan dan melakukan mukjizat. Kemampuan ini dihasilkan adanya penyatuan dengan seseorang dengan dewa.[6]

Kelima, Anak Allah sebagai utusan eskatologis. Markus memberikan gambaran lain Yesus sebagai Anak Allah, yakni Ia digambarkan sebagai utusan eskatologis yang datang setelah para nabi dan melampaui mereka.[7] Markus ingin menggambarkan Yesus sebagai yang diutus oleh Allah, secara khusus disimpulkan dari perumpamaan penggarap-penggarap kebun anggur (Mrk 12: 1-12).

 

 



[1] Brian M. Nolan, The Royal Son of  God : The Christology of Matthew 1-2 In The Setting of  The Gospel, (Gottingen: Vandenhoeck und Ruprecht, 1979), 116.

[2] Brian M. Nolan, The Royal Son of  God : The Christology of Matthew 1-2 In The Setting of  The Gospel, 221.

[3] St. Eko Riyadi, Pr, Yesus Kristus Tuhan Kita,  (Yogyakarta: Kanisius, 2011),  136.

[4] Seyoon Kim, The ‘Son of Man’” an as the Son of God, (Tiibingen: Mohr, 1983), 21-22.

[5] Seyoon Kim, The ‘Son of Man’” an as the Son of God, 67-68.

[6] M. M. Jacobs,  Mark's Jesus Through The Eyes of Twentieth Century New Testament Scholars, Neotestamentica, Vol. 28, No. 1 (1994), pp. 57-58.

[7] M. M. Jacobs,  Mark's Jesus Through The Eyes of Twentieth Century New Testament Scholars, Neotestamentica, Vol. 28, No. 1 (1994), pp. 73-74.

Komentar

  1. Wah.TOPer kita ini.memang hebat.tulisan2 sangat ilmiah sekali.sukses ya dng segala karya nya..misionaris Claretian yg hebat..

    BalasHapus
  2. Mantap.
    Kaka TOPER skripsinya tentang apa ya? 🤗

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pemikiran Politik Locke Menurut John Dunn, Kk diakon

      Hapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  4. Mengingat dan meneladan Yesus, Anak Allah yang setia.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Keselamatan dalam Pandangan Agustinus dan Anselmus

Derita dan Toleransi Konteks Indonesia

Toleransi Beragama di Era Revolusi Industri 4.0