I Shop, Therefore I Am

 

Sumber Gambar: D'Seven (Pengabsos Tanjung Mas, Semarang Utara)


Kerusakan lingkungan hidup adalah salah satu persoalan yang amat serius diperbincangkan pada zaman ini. Hemat saya, disorientasi perilaku manusia dari semangat ekologis adalah penyebabnya. Pola pikir dan pola hidup ekologis menjadi serba-serbi tantangan bagi dewasa masa kini. Nilai ini terperosok dalam mentalitas konsumerisme yang semakin meningkat. Dampaknya lingkungan mengalami ketidakseimbangan.

Konsumerisme adalah salah satu penyebabnya. Hal itu tak dapat dimungkiri lagi. Dunia semakin maju dan life style zaman terarah pada totalitas konsumerisme. Rene Descartes, seorang filsuf nasionalis modern menyatakan “cogito ergo sum”, saya berpikir maka saya ada. Konsep ini diyakini dan implementasikan oleh manusia lewat buah karya pemikiran yang bisa dirasakan oleh indra. Akan tetapi, di era kapitalisme modern, konsep ini direduksi lagi dengan memunculkan sesanti baru “consume ergo sum”; i shop, therefore i am"; saya berbelanja maka saya ada.

Eksistensi manusia dinilai berdasarkan penilaian materi yang ia miliki dan bukan lagi berdasarkan karya yang ia hasilkan. Fokus manusia tidak untuk mencari apa yang sungguh-sungguh ia butuhkan, tetapi apa yang dia inginkan. Hal ini menyebabkan pemborosan dalam skala besar yang berakibat pada pengeksploitasian dan pengrusakan sumber daya alam. Persoalan ini tampak dalam aktivitas berpikir dan dalam diri manusia zaman now.

Pada dasarnya, kehidupan manusia ditopang oleh alam. Ketidaksadaran akan ketergantungan ini menimbulkan leap yang tidak tepat dalam relasi dengan alam. Ironisnya, manusia kerap kali memposisikan dirinya sebagai raja atas alam yang tampak dalam perbuatan destruktif. Alam tidak lagi dipandang sebagai ibu kehidupan yang memberikan “sesuatu”, tetapi sebatas sebagai objek yang dikeruh demi kenikmatan dan kesenangan semata manusia tak berhati.

Kedangkalan ini terarfirmasi dalam relasi subjek-objek yang melahirkan krisis ekologi. Keadaan ini berdampak buruk bagi seluruh makhluk hidup tidak hanya hari ini, tetapi juga  hari esok. Semua kehidupan hanya mencari keuntungan dan kebahagiaannya sendiri tanpa memandang siapa dan apa yang ada di sekitarnya. Di sini muncul kekhawatiran akan pemaknaan panggilan kita sebagai animale rationale. Hemat saya, ini mengamini adanya anomali kehidupan.

Manusia sebagai makhluk ciptaan istimewa Allah di muka bumi seharusnya menjaga dan melihat ciptaan lain sebagai saudara (bahasa St. Fransiskus). Akan tetapi realitas mengafirmasi bahwa semangat tersebut diserongkan ke arah yang kontras. Semua ciptaan saling terkait tanpa adanya gab atau batasan dalam proses interaksinya sebagai “subyek (penguasa) dan ciptaan lain sebagai objek.” Ironinya keberadaan manusia dewasa ini sebagai co-creator Allah terasa tak bereksistensi. Di sini muncul kekhawatiran akan pemaknaan panggilan kita sebagai orang beriman.

Mind-set dan action manusia yang  terbentuk dan berkembang dalam dunia modern ini mengarahkan dirinya pada kesenangan semata. Di sini tampak sebuah sikap narsistic diri. Manusia mengakui keberadaan bumi bukanlah sebuah subjek tetapi sebatas objek belaka. Dampaknya adalah eksploitasi alam besar-besaran oleh kelompok tertentu tanpa adanya reboisasi, pembuangan sampah sembarangan. Ada banyak akibat dari ulah manusia sekarang ini yang menghantarkan kehidupan pada sebuah jalan kematian atau pemusnahan. Quo vadis?

 


Komentar

  1. Selalu mencerahkan dengan gagasan-gagasan luar biasa. Bagaimana dengan ekosentris dan deep ekologi?

    Apa kita perlu kembali ke zaman pre pengakuan akan peran rasio sebagai pusat segalanya? Terimakasih prof?

    BalasHapus
  2. Selalu mencerahkan dengan gagasan-gagasan luar biasa. Bagaimana dengan ekosentris dan deep ekologi?

    Apa kita perlu kembali ke zaman pre pengakuan akan peran rasio sebagai pusat segalanya? Terimakasih prof?

    BalasHapus
  3. Makasih Fr..smg jadi semangat nih😀🙏

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Keselamatan dalam Pandangan Agustinus dan Anselmus

Derita dan Toleransi Konteks Indonesia

Toleransi Beragama di Era Revolusi Industri 4.0