I Shop, Therefore I Am
Kerusakan lingkungan hidup adalah salah satu persoalan yang amat serius diperbincangkan pada zaman ini. Hemat saya, disorientasi perilaku manusia dari semangat ekologis adalah penyebabnya. Pola pikir dan pola hidup ekologis menjadi serba-serbi tantangan bagi dewasa masa kini. Nilai ini terperosok dalam mentalitas konsumerisme yang semakin meningkat. Dampaknya lingkungan mengalami ketidakseimbangan.
Konsumerisme adalah salah satu
penyebabnya. Hal itu tak dapat dimungkiri lagi. Dunia semakin maju dan life style zaman terarah pada totalitas
konsumerisme. Rene Descartes, seorang filsuf nasionalis modern menyatakan “cogito ergo sum”, saya berpikir maka
saya ada. Konsep ini diyakini dan implementasikan oleh manusia lewat buah karya
pemikiran yang bisa dirasakan oleh indra. Akan tetapi, di era kapitalisme
modern, konsep ini direduksi lagi dengan memunculkan sesanti baru “consume ergo sum”; “i shop, therefore i am"; “saya berbelanja maka saya ada.”
Eksistensi manusia dinilai berdasarkan
penilaian materi yang ia miliki dan bukan lagi berdasarkan karya yang ia
hasilkan. Fokus manusia tidak untuk mencari apa yang sungguh-sungguh ia
butuhkan, tetapi apa yang dia inginkan. Hal ini menyebabkan pemborosan dalam
skala besar yang berakibat pada pengeksploitasian dan pengrusakan sumber daya
alam. Persoalan ini tampak dalam aktivitas berpikir dan dalam diri manusia
zaman now.
Pada dasarnya, kehidupan manusia
ditopang oleh alam. Ketidaksadaran akan ketergantungan ini menimbulkan leap yang tidak tepat dalam relasi
dengan alam. Ironisnya, manusia kerap kali memposisikan dirinya sebagai raja
atas alam yang tampak dalam perbuatan destruktif. Alam tidak lagi dipandang
sebagai ibu kehidupan yang memberikan “sesuatu”, tetapi sebatas sebagai objek
yang dikeruh demi kenikmatan dan kesenangan semata manusia tak berhati.
Kedangkalan ini terarfirmasi dalam
relasi subjek-objek yang melahirkan krisis ekologi. Keadaan ini berdampak buruk
bagi seluruh makhluk hidup tidak hanya hari ini, tetapi juga hari esok. Semua kehidupan hanya mencari
keuntungan dan kebahagiaannya sendiri tanpa memandang siapa dan apa yang ada di
sekitarnya. Di sini muncul kekhawatiran akan pemaknaan panggilan kita sebagai animale rationale. Hemat saya, ini
mengamini adanya anomali kehidupan.
Manusia sebagai makhluk ciptaan
istimewa Allah di muka bumi seharusnya
menjaga dan melihat ciptaan lain sebagai saudara (bahasa St. Fransiskus). Akan tetapi realitas mengafirmasi bahwa semangat tersebut diserongkan ke arah
yang kontras. Semua ciptaan saling terkait tanpa adanya gab atau batasan
dalam proses interaksinya sebagai “subyek (penguasa) dan ciptaan lain sebagai
objek.” Ironinya keberadaan manusia dewasa ini sebagai co-creator Allah terasa tak bereksistensi. Di sini muncul
kekhawatiran akan pemaknaan panggilan kita sebagai orang beriman.
Mind-set dan action manusia yang
terbentuk dan berkembang dalam dunia modern ini mengarahkan dirinya pada
kesenangan semata. Di sini tampak sebuah sikap narsistic diri. Manusia mengakui keberadaan bumi bukanlah sebuah
subjek tetapi sebatas objek belaka. Dampaknya adalah eksploitasi alam
besar-besaran oleh kelompok tertentu tanpa adanya reboisasi, pembuangan sampah
sembarangan. Ada banyak akibat dari ulah manusia sekarang ini yang
menghantarkan kehidupan pada sebuah jalan kematian atau pemusnahan. Quo vadis?
Selalu mencerahkan dengan gagasan-gagasan luar biasa. Bagaimana dengan ekosentris dan deep ekologi?
BalasHapusApa kita perlu kembali ke zaman pre pengakuan akan peran rasio sebagai pusat segalanya? Terimakasih prof?
Selalu mencerahkan dengan gagasan-gagasan luar biasa. Bagaimana dengan ekosentris dan deep ekologi?
BalasHapusApa kita perlu kembali ke zaman pre pengakuan akan peran rasio sebagai pusat segalanya? Terimakasih prof?
Makasih Fr..smg jadi semangat nih😀🙏
BalasHapusMantap dek ...
BalasHapus