Aku Yang Lain Menurut Levinas

                                                                 Sumber Gambar: Idenera


Menurut Levinas sejarah filsafat barat mengejar totalitas. “Ego” menjadi pusat karena selalu bertolak dari “aku” dan kembali kepada “aku”. Sejak Plotinos dikatakan bahwa jiwa selalu kembali kepada dirinya sendiri. 

Descartes mempertajam dengan slogan “aku berpikir maka aku ada”. Subyek menentukan eksistensi objek. Husserl pun masih jatuh pada kekeliruan yang sama.

Totalitas diganti dengan “yang tak berhingga”. Realitas tidak bisa direngkuh seluruhnya ke dalam sistem kesadaran. Hal itu sudah ditemukan Heidegger namun masih abstrak. Pada Levinas, “Ada” atau “yang tak berhingga” itu adalah Orang Lain (Autrui). 

Saat berjumpa dengan Orang Lain, totalitas hancur. Levinas menggunakan istilah “Wajah”. Yang dimaksudkan di sini bukan fisiologis melainkan keberlainan orang lain. 

Adanya orang lain bersifat sui generis; fenomena yang sama sekali unik dan tidak diasalkan dari yang lain. 

Dengan demikian, kita tidak bisa mengatakan orang lain adalah aku yang lain (alter ego). Orang lain sungguh memiliki keberlainan yang tidak bisa disamakan dengan siapa atau apapun.

Melalui Wajah atau Orang Lain kita menghadapi “yang sama sekali lain” yaitu Tuhan. Relasi dengan Tuhan tidak dapat dipisahkan dari relasi dengan orang lain. 

Subyek menjadi subyek karena bertanggung jawab atas orang lain. Aku tidak hanya bertanggung jawab terhadap diriku tetapi juga bertanggung jawab terhadap perbuatan orang lain dan bahkan perbuatan orang lain terhadapku.

Aku tidak mengambil tanggung jawab tersebut seolah-olah sebelumnya saya sudah ada namun belum memiliki tanggung jawab itu. Aku menjadi sandera bagi orang lain. Wajah menyandera aku. Aku bahkan bertanggung jawab terhadap kesalahan orang lain.

Penampakan wajah “mengekspresikan diri”. Ketika berhadapan dengan orang lain kekuatanku menjadi tidak berdaya. Ia menghadirkan konsekuensi untuk tidak dimiliki, dikuasai, dan diperbudak. 

Itu bukan karena aku tidak memiliki kekuatan untuk menaklukan wajah tersebut tetapi karena kehadirannya dengan penuh ketelanjangan dan ketidakberdayaan.

Tanggung jawab atas orang lain bersifat obsesi karena terpukau secara total. Kita tidak menunggu adanya kebebasan untuk kemudian memilih bertanggung jawab terhadap orang lain. Menurut logika konstitusi identitasku, aku sudah disandera oleh tanggung jawab bagi saudara. 

Sebelum ditanyai apakah aku bersedia untuk berkorban bagi orang lain, aku sudah dijadikan kurban. Pertanyaan apakah aku harus peduli pada orang lain merupakan pertanyaan yang lahir dari pra-pemahaman aku hanya memperhatikan diriku sendiri. Tanggung jawab terhadap orang lain adalah pilihan entahkah aku mau atau menolaknya.

Substitusi bukan tindakan melainkan pasivitas. Substitusi tidak dapat diubah menjadi tindakan. Tanpa orang lain berbuat apapun terhadapku, aku bertanggung jawab atasnya. Gerak kembali dalam tanggung jawab terhadap orang lain bukan resiprosikal karena mengarah kepada diri sendiri. 

Aku menanggung kesialan orang lain dan bertanggung jawab atas aku yang mungkin membebani orang lain itu. Sebagai sandera, aku memikul tanggung jawab yang lebih besar. Aku menanggung apa yang semestinya ditanggung orang lain. Aku bertanggung jawab atas tanggung jawab orang lain.

 

 

 

 

Komentar

  1. Bagus Fr...semangat di saat kondisi saat ini..doa yg penting

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mks... Semoga bermanfaat kk. Mari kita sling mendoakn yg trbaik

      Hapus
  2. Luar biasa kaka, ... Levinas sunguh mau menampilkan Yang Lain secara unik

    BalasHapus
  3. Keren... Bacaan tingkat tinggi.. Hrs dimengerti dg sungguh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehehhhe.. Tulisannya sederhana saja kk... Semoga bermanfaat

      Hapus
  4. Terimakasih fr....smngat dan terus berkarya

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Keselamatan dalam Pandangan Agustinus dan Anselmus

Derita dan Toleransi Konteks Indonesia

Toleransi Beragama di Era Revolusi Industri 4.0