PERAYAAN EKARISTI TANPA ANGGUR ATAU HOSTI: "MASA?"

 


                                       

Ketika perayaan Ekaristi berlangsung di sebuah stasi Kampung terpencil (jauh dari paroki), Anggur tumpah saat persembahan. Anggur tersebut merupakan anggur terakhir untuk digunakan dalam perayaan Ekaristi. Lalu apakah perayaan Ekaristi tersebut dapat dilanjutkan?

 

Gereja menegaskan bahwa Ekaristi merupakan “sumber dan puncak dari hidup Kristiani”.[1] Posisi Ekaristi  sangat penting dalam menggereja. Gereja menaruh perhatian (syarat) yuridis dan teologis demi liceitas dan validitas dari sebuah perayaan Ekaristi. Untuk itu, kasus di atas jarang terjadi di dalam perayaan Ekaristi. 

Akan tetapi, jika peristiwa ini terjadi akan menimbulkan banyak pertanyaan dan kebingungan bagi banyak orang. Apalagi mereka yang awam. Mereka bisa saja pro dan kontra soal keberlangsungan perayaan tersebut. Dengan anggapan bahwa hosti masih ada, pasti perayaan Ekaristi masih dapat berlangsung.

Secara Yuridis, perayaan ini tidak dapat dilanjutkan sebagai Perayaan Ekaristi. KHK 1983 Kan 927 menegaskan bahwa “tidak diperbolehkan, juga dalam keadaan sangat terpaksa mengkonsekrasi satu bahan tanpa yang lain, atau juga mengkonsekrasi keduanya di luar perayaan Ekaristi.

Sesuai dengan ajaran Konsili Trento, kanon 927 menetapkan bahwa roti dan anggur harus dikonsekrasikan selalu secara bersama-sama selama perayaan Ekaristi.” Merujuk pada kanon ini jelas bahwa perayaan Ekaristi tersebut tidak dapat dilanjutkan. Karena secara yuridis mangharuskan konsekrasi kedua bahan tersebut secara bersama-sama di dalam Ekaristi.

Gereja jelas tidak menghendaki terjadinya perayaan tersebut. Secara teologis pula korban ekaristis pada hakikatnya terjadi hanya dengan konsekrasi ganda kedua bahan tersebut.[2] Apakah dalam keadaan darurat semacam ini diperbolehkan untuk menggunakan anggur dari “kios”? Tentu tidak. Secara teologis dan yuridis hal tersebut dilarang. 

Dalam Kan. 924 §3 ditegaskan bahwa “air anggur haruslah alamiah dari buah anggur serta belum membusuk.”[3] Artinya Gereja di luar anggur murni sebagai anjuran yuridis adalah tidak valid untuk Ekaristi kudus. Demikian perayaan Ekaristi harus selalu menggunakan bahan roti dari gandum murni dan anggur dari buah anggur murni, demi validitas Ekaristi. Oleh karena itu, Gereja sungguh menekankan keaslian dan kemurnian anggur tersebut demi keabsahan Sakramen Ekaristi.[4] Anggur yang tidak bisa dijamin dan asal-usulnya tidak jelas tidak diperbolehkan untuk Ekaristi.

Hal ini juga ditegaskan oleh Kongregasi untuk Ibadat dan Sakramen dengan mengeluarkan sebuah Surat Edaran “Tentang Hosti dan Anggur untuk Ekaristi” tertanggal 15 Juni 2017. Surat ini menegaskan bahwa untuk Perayaan Ekaristi, digunakan materia yang absah dan tepat menurut hukum Gereja Katolik, baik bahannya maupun proses pembuatannya. Ada persyaratan-persyaratan yang ketat, yang harus dipenuhi baik untuk hosti maupun anggur untuk Perayaan Ekaristi.

Semangat ini sejalan dengan apa yang terjadi pada perjamuan malam terakhir. Pada peristiwa itu, Penyelamat kita mengadakan Korban Ekaristi Tubuh dan Darah-Nya.[5] Dasar perayaan ini jelas berbasis pada perjamuan malam terakhir, yang mana dalam perayaan tersebut digunakan roti tak beragi dan anggur murni (Luk 22:19; 1Kor 11:24-25). 

Perlu disadari pula bahwa secara eksplisit Ekaristi merupakan ketetapan dari Yesus untuk mengenangkan diri-Nya dalam perjamuan malam terakhir.[6] Untuk itu, dalam perayaan Ekaristi harus ada roti dan anggur sesuai anjuran Gereja sehingga bisa dikonsekrasikan sebagai Tubuh dan Darah Kristus.

Dengan adanya syarat tersebut, maka perayaan Ekaristi tidak dapat dilanjutkan. Maka cara yang ditempuh dalam keadaan ini adalah cara pastoral. Perayaan tersebut tetap dilanjutkan sebatas ibadat Sabda, bukan perayaan Ekaristi. Peralihan dari Ekaristi yang batal ke ibadat sabda ini dinilai sebagai suatu langkah pastoral yang tepat karena selain mempertimbangkan situasi juga tidak bertentangan dengan norma yuridis maupun teologis yang berlaku.

Akan tetapi, tetap mengingat bahwa peralihan di sini bukan dalam taraf (bermaksud) kita menyamakan hakikat Ekaristi sebagai perayaan liturgi resmi Gereja sekaligus “fons et culmen” hidup kristiani dengan ibadat sabda, tetapi lebih merupakan celah pastoral yang bisa diambil.

Peralihannya bukan dengan cara kita memulai lagi perayaan tersebut dari awal. Perayaan tersebut tetap dilanjutkan tetapi sekali lagi diingatkan bahwa tidak lagi disebut sebagai perayaan Ekaristi, melainkan sebagai ibadat sabda. Artinya, tidak ada lagi Liturgi Ekaristi. Dengan demikian, dalam konteks kasus “penumpahan anggur saat persembahan” ini, tata perayaan selanjutnya dapat berjalan sesuai dengan rumusan biasa ibadat sabda. Kemudian Imam selaku pemimpin mengakhirinya dengan berkat penutup.



[1] Lumen Gentium  11, KGK 1324.

[2] Bdk Kan. 924 §1. Kurban Ekaristi Mahakudus harus dipersembahkan dengan roti dan air anggur yang dicampur sedikit air.

[3] PUMR 322.

[4] Redemptionis Sacramentum 50

[5] Sacrosantum Concilium 47.

[6] E. Martasudjita, Pr, Ekaristi: Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Pastoral, (Yogyakarta: Kanisius,  2005), 37.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Keselamatan dalam Pandangan Agustinus dan Anselmus

Derita dan Toleransi Konteks Indonesia

Toleransi Beragama di Era Revolusi Industri 4.0